ARIO BLEDEG Pendekar Keris Tujuh Petir Karya: Bastian Tito Petir Di Mahameru (Bagian 1) SATU KI SURO GUSTI BENDORO HARI Jum'at Pahing, tepat tengah hari ketika sang surya berada di titik tertinggi. Tidak seperti biasanya, di puncak Gunung Mahameru sama sekali tidak kelihatan awan putih menggantung. Sinar matahari yang tidak terhalang menebar terik mulai dari puncak sampai ke lereng bahkan kaki gunung. Angin tidak sedikitpun berhembus. Udara terasa panas luar biasa dan kesunyian mencekam hampir di setiap penjuru. Ketika serombongan burung pipit melayang di langit sebelah utara, sayup-sayup dari arah lereng gunung sebelah tenggara terdengar sesuatu berkelebat disertai suara mendesis panjang tiada henti-hentinya. Tanah bergetar seolah ada sesuatu menjalar melewatinya sepanjang lereng. Rombongan burung pipit lenyap di kejauhan. Suara berkelebat dan suara mendesis terdengar semakin keras. Tak selang berapa lama di satu jalan setapak di antara kerapatan pepohonan kelihatan seorang kakek berjubah putih berlari laksana angin menuju puncak Gunung Mahameru. Rambut dan janggutnya yang putih panjang melambai-lambai. Wajahnya yang lanjut dimakan usia walau penuh keriput namun tampak jernih, membayangkan satu pribadi yang bersih. Di tangan kanannya ada sebatang tongkat bambu berwarna kuning. Ujung jubah sebelah bawah dan lengan jubah putih lebar yang bergesek dengan udara itulah sumber suara yang terdengar sejak tadi. Lalu suara mendesis tak berkeputusan, inilah yang hampir sulit dipercaya kalau tidak menyaksikan sendiri. Ternyata di belakang kakek berjubah putih itu, meluncur ratusan ular berbagai bentuk dan warna. Binatang ini meluncur di tanah jalan setapak mengikuti larinya si orang tua yang tengah menuju ke puncak gunung sambil tiada hentinya mengeluarkan suara mendesis. Sosok tubuh mereka yang ratusan banyaknya itu menimbulkan suara menggemuruh di tanah. Sesekali kakek ini berpaling ke belakang. Mulutnya tersenyum melihat binatang-binatang itu. Namun dalam hati dia merasa sedih. Suara hatinya berkata. "Tuhan memberi akal pikiran dan perasaan hati pada manusia. Yang membuatnya lebih agung dan membedakannya dengan binatang. Tetapi terkadang binatang memiliki alam pikiran dan hati sanubari yang lebih jernih dan polos dari manusia. Ular-ular itu, mereka menunjukkan kesetiaan yang tidak semua manusia memilikinya...." Semakin tinggi ke puncak gunung semakin berkurang pepohonan dan semak belukar. Sengatan sinar matahari tambah membakar. Di mana-mana kini tampak berhamparan batu-batu hitam berbagai ukuran. Sekonyong-konyong dari lereng sebelah atas terdengar suara langkah-langkah kaki kuda, bergerak ke arah orang tua berjubah putih yang sementara mendaki ke jurusan berlawanan. Orang tua ini segera hentikan langkahnya dan menatap ke depan. "Tidak sembarang kuda mampu menaiki puncak gunung. Apa lagi gunung tinggi seperti Mahameru ini. Binatang itu pasti kuda yang sangat terlatih. Bukan kuda sembarangan. Mungkin sekali kuda yang biasa dipergunakan dalam peperangan.... Keadaan di Demak masih sangat kacau. Bukan mustahil.... " Belum selesai orang tua itu berucap dalam hati dua ekor kuda besar, satu berwarna coklat, satunya hitam berkilat muncul di atasnya. Dari ladam-ladam kaki kuda yang tebal dan bergerigi jelas bahwa dua ekor binatang ini memang sengaja diperuntukkan untuk ditunggangi di puncak gunung atau kawasan berbatu-batu. Di atas kuda berwarna coklat duduk seorang bertubuh besar, berkulit sangat hitam. Dari pakaian dan bentuk gagang pedang yang terselip di pinggangnya jelas dia adalah seorang Perwira Kerajaan. Yang anehnya orang ini memegang sebuah obor besar di tangan kirinya sementara tangan kanan menahan tali kekang kuda tunggangannya. Di samping si Perwira, di atas kuda besar hitam yang kelihatan garang duduk gagah seorang kakek berjubah kuning. Jubah ini terbuat dari bahan tebal dan mahal. Di tangan kirinya dia memegang sebatang tombak besi. Pada ujung tombak terikat sebuah bendera berbentuk segi tiga berwarna kuning. Di belakang kakek berjubah putih, ratusan ular mendadak tegakkan kepala dan mendesis keras. Kakek itu angkat tangan kanannya. Binatang-binatang yang tadi kelihatan galak kini tundukkan kepala, tak ada yang bersuara tapi tetap menatap ke depan dengan pandangan tidak berkesip. Binatang-binatang yang dalam perasaan dan tinggi tingkat kewaspadaannya ini rupanya sudah mencium sesuatu akan terjadi. Setelah pandangi dua orang itu sejenak, orang tua berjubah putih segera memaklumi ada sesuatu dibalik kernunculan mereka. Walau hatinya merasa tidak enak sambil tersenyum orang tua ini menegur. "Perwira Brajanala, sahabatku Ki Dalem Sleman, ini sungguh satu pertemuan yang tidak disangka-sangka. Aku tak bisa menutupi kegembiraanku. Tapi juga merasa aneh dan ingin bertanya. Gerangan apakah sebabnya hingga Perwira Brajanala bersuluh obor besar di bawah terang benderangnya sinar matahari?" Orang tua berjubah putih ini ajukan pertanyaan walau sebenarnya dia sudah tahu apa kegunaan obor besar itu. Yakni untuk melindungi diri dari ratusan ular jika binatang-binatang itu menyerang. Orang tua berjubah kuning bernama Ki Dalem Sleman melirik pada Perwira di atas kuda coklat lalu berkata. "Brajanala, kau tak perlu menjawab pertanyaannya. Karena kitalah yang akan mengajukan banyak pertanyaan padanya!" Kakek jubah putih kerenyitkan kening. Sepasang alisnya naik sesaat. Lalu kembali dia tersenyum. "Kalau sampeyan mempunyai kepentingan mengapa tidak mengajukannya sewaktu kita masih sama-sama di Demak. Mengapa sampai-sampai menghabiskan waktu dan mencapaikan diri menemuiku di lereng Mahameru ini?" "Sebabnya lain tidak karena kau melarikan diri ketika Kerajaan dilanda kekacauan. Padahal kau adalah salah seorang penasihat Sultan yang dibutuhkan kehadirannya. Tapi kau menghilang begitu saja. Untung kami masih bisa menemuimu di sini!" Yang berkata adalah Perwira Kerajaan bernama Brajanala yang berkulit hitam liat itu. "Aku tidak melarikan diri. Tidak pula menghilang. Aku memang penasihat Kerajaan. Tapi hanya sampai saat aku dibutuhkan. Saat Sultan dan Kerajaan tidak memerlukan diriku lagi, aku merasa tidak ada gunanya lagi berada lebih lama di Demak. Keluarga dan turunan Sultan saling membantai memperebutkan tahta. Sampeyan tahu sendiri apa yang terjadi sejak Sultan Trenggono mangkat. Pangeran Sekar Seda Lepen adik Sultan yang seyogianya menjadi Raja menggantikan kakaknya mati dibunuh orang. Pangeran Prawoto, putera Sultan Trenggono yang siap-siap hendak dinobatkan sebagai Sultan Demak dibantai habis bersama seluruh keluarganya secara keji oleh Arya Penangsang, putera Pangeran Sekar Seda Lepen. Aku sendiri tidak lagi ingin terlibat dengan segala urusan dunia dan kekuasaan. Apa lagi segala daya upayaku untuk mendamaikan mereka tidak diperdulikan. Saat ini Adiwijoyo, menantu mendiang Sultan Trenggono tengah menyusun kekuatan untuk melakukan pembersihan. Mudah-mudahan Tuhan membimbing dan melindunginya. Aku mendoakan semoga dia berhasil, agar Kerajaan kembali aman dan rakyat yang selama bertahun-tahun ini hidup menderita bisa kembali menikmati hidup tenteram...." Ki Dalem Sleman, kakek berjubah hitam yang memegang tombak sunggingkan senyum sinis. "Ucapanmu seolah satu filsafat yang lebih tinggi dari langit, lebih dalam dari dasar samudera. Namun kami berdua tahu kau berada di Mahameru ini bukan karena tidak ingin lagi terlibat dengan segala urusan dunia, melainkan karena ada satu hal lain...." "Sampeyan benar Ki Dalem Sleman," kata Ki Suro Gusti Bendoro pula. "Aku sengaja naik ke puncak Mahameru ini karena menurut petunjuk yang aku terima dari Gusti Allah melalui tiga kali mimpi, setelah lima puluh tahun menunggu, puncak Mahameru ini merupakan ujung atau akhir perjalanan hidupku...." "Rupanya kau manusia luar biasa sekali, Ki Suro Gusti Bendoro. Sampai-sampai tahu dimana dan kapan akan menemui ajal! Kau manusia murtad! Karena soal mati hidupnya manusia hanya Tuhan yang mengetahui...." "Aku tidak akan berdebat mengenai hidup matiku dengan sampeyan Ki Dalem Sleman...." "Baik! Karena kami berdua mencarimu memang bukan untuk bicara berpanjang lebar. Kami mengetahui kau meninggalkan Demak dengan membawa Bendera Pusaka milik Kerajaan yang bernama Kanjeng Kiai Pujoanom. Itu sebabnya kami mengejarmu sampai ke sini. Kau harus menyerahkan Bendera Pusaka itu segera. Saat ini juga!" Ki Suro Gusti Bendoro sangat terkejut mendengar kata-kata Ki Dalem Sleman itu. "Ki Dalem Sleman, aku yakin sampeyan bukan orang yang suka berburuk sangka. Namun apa yang barusan sampeyan katakan sungguh mengejutkan. Bagaimana sampeyan bisa menuduh aku membawa Bendera Pusaka Kanjeng Kiai Pujoanom?" "Kau bukannya membawa tapi mencuri Bendera Pusaka itu!" kata Perwira Brajanala dengan suara keras dan tampang garang. "Astagfirullah." Ki Suro mengucap. "Seumur hidupku aku tidak pernah mencuri. Apa lagi sampai mencuri Pusaka Kerajaan yang sangat kujunjung tinggi. Sampeyan berdua pasti menyirap kabar salah. Atau mungkin ada pihak yang memfitnah...." "Tidak ada kabar yang salah! Tidak ada orang yang memfitnah...." "Kalau begitu sampeyan berdua kupersilahkan menggeledah diriku..." kata Ki Suro Gusti Bendoro dengan suara tetap tenang. "Buat apa menggeledah. Kau pasti sudah menyembunyikan Bendera Pusaka itu di satu tempat rahasia!" tukas Brajanala. "Kami ingin kau mengantar kami ke tempat kau menyembunyikan Bendera itu!" Kakek berjubah putih gelengkan kepala lalu berkata. "Apa yang aku katakan adalah suara kebenaran. Aku tidak mencuri Bendera Pusaka itu...." "Kalau begitu terpaksa kau menggantikan Bendera Pusaka itu dengan kau punya nyawa!" ujar Brajanala pula. Lalu "sreettt!" Perwira Kerajaan ini hunus pedangnya. Pedang telanjang itu berkilauan ditimpa sinar matahari. Sang Perwira lalu sentakkan tali kekang kudanya. Binatang ini melangkah maju mendekati Ki Suro Gusti Bendoro yang tetap berdiri dengan tenang bahkan wajah tidak berubah sama sekali. *** Gudang Ebook (ebookHP.com) http://www.zheraf.net DUA SEBELUM AJAL BERPANTANG MATI BEGITU pedang keluar dari sarungnya, ratusan ular yang ada di belakang Ki Suro Gusti Bendoro serta merta mendesis keras dan serentak melesat ke depan. Kuda hitam dan kuda coklat meringkik tinggi sambil angkat dua kaki depan masing-masing. Brajanala cepat kuasai kudanya lalu babatkan obor besar di tangan kiri. Puluhan ular bersurut mundur tapi puluhan lainnya tetap melesat ke depan. Ki Dalem Sleman gerakkan tangannya yang memegang tombak. Siap menggebuk. Tombak ini bukan senjata biasa melainkan satu senjata mustika yang bisa menebas batang pohon dan menghancurkan batu besar. Ketika ular-ular itu hampir melewati orang tua berjubah putih, Ki Suro segera angkat tangannya dan berkata. "Sahabat-sahabatku, tenanglah. Kembali ke tempatmu di belakangku...." Luar biasa sekali! Seperti mengerti apa yang diucapkan si orang tua, ratusan ular itu bersurut ke belakang. Brajanala melintangkan pedangnya di depan dada. "Ki Suro! Apa kau lebih suka mati dengan kepala terbelah dari pada memberi tahu dimana kau sembunyikan Bendera Pusaka itu?!" "Soal Bendera Pusaka sudah aku katakan, aku tidak memilikinya. Soal kematian aku hanya berserah diri pada Yang Maha Kuasa Maha Pencipta. Aku merasa bahagia setelah menunggu lima puluh tahun untuk menghadap Sang Pencipta akhirnya ada orang memberi jalan menuju pintu akhirat. Sampeyan hendak membunuhku, aku sangat berterima kasih. Semoga Tuhan mengampuni dosa sampeyan. Tapi izinkan aku lebih dulu menghadap ke Kiblat...." Habis berkata begitu Ki Suro Gusti Bendoro putar tubuhnya menghadap ke arah matahari tenggelam. Di atas kuda coklat Perwira bernama Brajanala kertakkan rahang. Tangan kanannya menggenggam gagang pedang erat-erat. Lalu wuuut! Senjata itu berkelebat menyilaukan di udara. Membacok dari atas ke bawah. Sasarannya adalah batok kepala kakek berjubah putih yang tegak dengan kepala agak tertunduk, pasrah menunggu ajal. Ratusan ular di belakang si kakek tegakkan kepala, mendesis keras tapi tak ada yang berani bergerak. "Traanggg!" Pedang besar di tangan Perwira Brajanala laksana menghantam benda terbuat dari baja atos. Senjata itu patah dua begitu membentur batok kepala Ki Suro Gusti Bendoro. Kepala si kakek sedikitpun tidak bergeming bahkan rambutnya yang putih tidak ada yang putus barang sehelaipun! Di atas kuda coklat Brajanala terhuyung-huyung. Tak terasa obor besar di tangan kirinya jatuh ke tanah. Minyak yang tumpah segera disambar nyala api. Kebakaran besar di tempat yang kering gersang dan panas itu akan segera terjadi kalau kakek berjubah putih tidak lekas melakukan sesuatu. Sekali dia meniup, padamlah kobaran api. Untuk sesaat Brajanala masih memegang gagang pedang namun kemudian senjata yang telah patah itu terpaksa dilepaskannya karena tangannya terasa panas dan pedas. Ketika diperhatikannya, terkejutlah Perwira Demak ini karena telapak tangannya ternyata telah terkelupas melepuh! Perlahan-lahan Ki Suro Gusti Bendoro angkat kepalanya. Sesaat dia menatap sang Perwira yang memandang padanya dengan mata membeliak dan rahang menggembung. Ki Suro tersenyum dan berkata dengan suara lembut. "Tuhan tidak mengizinkan sampeyan membunuhku. Ajalku tidak berada di tangan sampeyan. Ini satu bukti bahwa ajal manusia tidak berada di tangan manusia lainnya kecuali dengan kehendakNya. Perwira Brajanala, semoga Gusti Allah mengampuni kesalahan sampeyan...." Muka hitam Perwira Kerajaan itu kelam membesi. Dua tangannya terkepal, matanya mendelik tak berkesip dan gerahamnya bergemeletakan. "Ilmu kebalmu sungguh mengagumkan Ki Suro Gusti Bendoro!" Tiba-tiba Ki Dalem Sleman membuka mulut. "Aku mau lihat, apakah kesaktianmu bisa menahan Tombak Kiai Sepuh Plered milikku ini!" Begitu selesai berucap Ki Dalem, Sleman langsung tusukkan tombak besi yang ujungnya ada bendera kecil kuning berbentuk segitiga ke leher Ki Suro Gusti Bendoro. "Desss!" Tombak besi tembus sampai ke tengkuk si kakek. Darah menyembur lalu membasahi leher, dada dan jubah putih yang dikenakannya. Ratusan ular mendesis keras dan tegakkan kepala. Namun seperti tadi tak ada bergerak. Ki Dalem Sleman tertawa bergelak. "Ki Suro! Ternyata ilmu kebalmu tidak sanggup menghadapi tombak saktiku! Ha... ha... ha! Kau harus berterima kasih padaku karena telah menolongmu menemui kematian lebih cepat!" Sepasang mata Ki Suro Gusti Bendoro menatap tak berkesip ke arah kakek berjubah kuning. Tidak ada bayangan rasa sakit di wajah orang tua ini. Hal ini mungkin tidak terperhatikan oleh Ki Dalem Sleman. Puas tertawa dia lalu cabut tombak Kiai Sepuh Plered dari leher Ki Suro. Baik Ki Dalem Sleman maupun Perwira Brajanala mengira begitu tombak dicabut, Ki Suro akan segera roboh ke tanah walau tangan kanannya masih bersitopang pada tongkat bambu kuning. Tapi bukan saja sosok kakek itu tetap tegak tak bergerak di tempatnya. Malah terjadilah satu hal luar biasa. Darah yang mengucur dari luka tembusan tombak sakti di leher Ki Suro, yang meleleh membasahi leher, dada serta jubahnya bergerak surut, naik ke atas, masuk kembali ke dalam lobang luka. Lalu luka itu menutup dengan sendirinya. Tak ada cacat atau bekas yang tertinggal. Sedang noda darah di jubah si kakek lenyap sama sekali. Jubah itu kembali putih bersih seperti sebelumnya! Selain itu noda darah yang membasahi tombak dan bendera kuning juga ikut sirna tanpa bekas! Dinginlah tengkuk Ki Dalem Sleman dan Brajanala. "Sahabatku Ki Dalem Sleman...." Ki Suro Gusti Bendoro berkata sambil mengulas senyum. "Ternyata Tuhan juga tidak mengizinkan sampeyan membunuhku...." Dua orang di atas kuda putus sudah nyali mereka. Keduanya sentakkan tali kekang kuda masing-masing lalu menghambur lenyap ke arah lereng timur Gunung Mahameru. Ki Suro Gusti Bendoro hela nafas dalam lalu berucap. "Ya Tuhan, ampuni dosa dan kesalahan ke dua orang itu. Sesungguhnya mereka tidak tahu apa yang mereka telah perbuat." Ki Suro Gusti Bendoro berpaling ke belakang. Ratusan ular tegakkan kepala. Orang tua ini tersenyum yang dibalas oleh desisan halus oleh ratusan ular. Begitu Ki Suro memutar tubuh dan melanjutkan perjalanan menuju puncak gunung, binatang-binatang itu segera pula mengikuti. Sosok-sosok mereka yang menjalar di tanah menimbulkan suara bergemuruh. Semakin tinggi ke atas semakin terik sinar sang surya seolah membakar puncak Mahameru. Ki Suro terus melangkah. Ular-ular terus pula mengikutinya. Di satu tempat di mana terdapat dua batu besar membentuk celah kakek ini hentikan langkahnya. Ratusan ular ikut berherti. Kembali binatang ini tegakkan kepala. Telinga si kakek menangkap satu suara. Telapak kakinya terasa bergetar. Ada langkah-langkah berat di balik dua batu besar di depannya. Tiba-tiba menggelegar satu auman dahsyat. Tanah dan batu-batu besar di tempat itu bergetar. Sesaat kemudian muncullah kepala seekor harimau besar. Matanya yang hijau menyorot tajam membersitkan hawa pembunuhan. Mulutnya menguak lebar memperlihatkan barisan gigi-gigi besar dan taring-taring runcing serta lidah merah haus darah. Sepasang kaki depan bergeser merendah. Kepala perlahan-lahan dirundukkan. Pertanda raja rimba belantara penguasa puncak Mahameru ini siap menerkam. Di sebelah belakang ratusan ular mendesis keras. Sebaliknya kakek yang hendak dijadikan mangsa harimau gunung itu tetap berdiri tenang. Malah diwajahnya menyeruak senyum. Tongkat bambunya dimelintangkan di dada. Lalu orang tua ini membungkuk sedikit. Dari mulutnya keluar ucapan. "Kita sesama makhluk hidup ciptaan Tuhan. Tidak sepantasnya memiliki hati dan rasa ingin menguasai. Apa lagi berniat jahat hendak menumpahkan darah melakukan pembunuhan. Aku berjalan di jalanku, tidak mengusik tidak mengganggu. Engkau berjalan di jalanmu tidak mengusik tidak mengganggu. Persahabatan adalah sesuatu yang agung. Tetapi terkadang makhluk melupakannya karena dorongan yang datang dari dalam diri sendiri serta tekanan yang datang dari luar. Aku ingin bersahabat tetapi jika nasib menakdirkan bahwa kematianku ada di tanganmu, aku akan merelakan selembar nyawaku. Lima puluh tahun aku menunggu kematian yang tak kunjung datang. Agaknya saat ini kau muncul tepat pada waktunya. Dengan kehendak Yang Maha Kuasa apa yang akan terjadi, terjadilah...." Kakek itu lalu duduk bersila di tanah. Tongkatnya diletakkan di atas pangkuan. Dua tangannya ditumpahkan di ujung lutut. "Harimau raja rimba belantara. Jika kau datang membawa takdir bagi akhir nasibku aku ikhlas menerima karena aku memang sudah menunggu. Lakukanlah apa yang hendak kau lakukan...." Dengan senyum masih membayang di wajah orang tua itu menatap pada harimau gunung di depannya. Di sebelah belakang, ratusan ular yang telah rnengangkat kepala siap melesat menyerang harirnau besar. Tapi orang tua berjubah putih angkat tangan kanannya dan berkata lembut. "Sahabatku, kalau takdir datang tidak ada satu kekuatanpun bisa menghalang. Tetaplah berada di tempat kalian. Kematian bagian setiap makhluk hidup. Tubuh tua dan lapuk ini sudah sejak lama mendambakannya...." Ratusan ular keluarkan suara mendesis namun sikap mereka tidak segalak tadi lagi. Satu persatu tundukkan kepala, menatap tak berkesip ke depan. Harimau besar tiba-tiba mengaum lalu melompat ke atas batu besar. Dari atas batu besar inilah binatang itu menyergap si kakek, langsung mengarah kepala. Namun masih dua jengkal sebelum mencapai sasarannya, dari tubuh orang itu keluar satu hawa mengandung kekuatan dahsyat. Harimau besar terpental ke udara. Meraung keras. Jatuh terbanting dan terguling-guling. Si orang tua kelihatan terkejut melihat apa yang terjadi. Wajahnya kemudian berubah seperti menyesali diri. "Harimau besar pembawa takdir. Aku tidak bermaksud mencelakai dirimu. Aku lupa kalau dalam diriku masih tersimpan sisa-sisa kekuatan tak berguna di masa muda. Lakukanlah kembali. Serang diriku. Terkam. Aku menginginkan kematian sebagaimana kau menginginkan tubuhku...." Harimau gunung bangkit berdiri. Sepasang matanya berkilat-kilat. Didahului gerengan keras binatang ini kembali menyerang mangsanya. Kali ini mulutnya langsung menerkam kepala si kakek. "Kraaakk... kraakkk.... kraakkk!" Harimau besar itu seperti menggigit batu besar. Hunjaman giginya yang besar-besar serta taringnya yang runcing-runcing jangankan melukai, menggores kepala orang tua itupun tidak sanggup. Dua kaki depannya menyambar ke depan. "Breettt... breettt!" Jubah putih Ki Suro Gusti Bendoro robek besar di dua tempat di bagian dada. Namun kulit tubuhnya tidak tergores barang sedikitpun. Harimau gunung bermata hijau itu mengaum keras. Kibaskan ekornya lalu melompat lagi ke batu besar sebelah kiri. Dari sini binatang ini melompat lagi ke batu lain di sebelah sana lalu menghambur pergi melenyapkan diri. Untuk beberapa lamanya Ki Suro Gusti Bendoro masih duduk bersila di tanah. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri, berpaling ke belakang menatap ratusan ular yang masih ada di tempat itu. Sambil melintangkan tongkat bambu kuningnya di depan dada orang tua ini berkata. "Para sahabatku, kiranya cukup sampai di sini kalian mengantarku. Bagaimanapun setiap perjalanan ada akhirnya. Kehidupan di dunia ini ada batasnya. Seratus lima puluh tahun aku menjalani kehidupan. Lima puluh tahun aku menunggu. Akhirnya saat penantian tiba juga. Aku telah mendapat firasat melalui mimpi tiga kali berturut-turut. Aku akan segera meninggalkan dunia fana ini. Walau aku manusia dan kalian binatang tapi karena kita sama-sama makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa Maha Pengasih aku yakin satu saat di alam baka kita akan berjumpa lagi dalam ujud yang tidak kita ketahui. Selamat tinggal sahabat-sahabatku...." Ratusan ular memenuhi jalan setapak itu keluarkan suara mendesis halus seolah sedih dan serentak rundukkan kepala, melata sama rata dengan tanah seolah memberi penghormatan terakhir. Mata mereka yang biasanya tajam tak berkesip kini tampak redup lalu teteskan air mata! Kakek berjubah putih tundukkan kepala dan bungkukkan badannya dua kali berturut-turut lalu dengan menindih rasa berat di dalam hatinya dia memutar tubuh. Sekali berkelebat dia telah berada beberapa tombak di atas sana. Ratusan ular baru bergerak pergi setelah si orang tua tak kelihatan lagi. *** TIGA TUJUH PETIR DARI LANGIT TANPA menghiraukan teriknya sengatan sinar, matahari yang seolah mau melelehkan batok kepalanya Ki Suro Gusti Bendoro melangkah cepat menuju puncak Mahameru. Sesekali tongkat bambu kuningnya dipukulkan ke batu-batu yang dilewatinya hingga mengeluarkan suara bergetar keras. Di satu tempat orang tua yang memiliki kesaktian tinggi ini dan melakukan perjalanan dalam mencari akhir kehidupannya hentikan langkah. Memandang berkeliling matanya membentur sebuah batu besar yang salah satu sisinya ada sebuah lobang sebesar kepalan tangan. Dada si kakek berdebar. "Batu permata..." katanya dalam hati. "Tepat seperti yang aku lihat dalam mimpi." Dia menatap ke langit lalu membungkuk. Selesai membungkuk laksana terbang dia melesat dan sesaat kemudian telah duduk bersila di atas batu, sengaja menghadap ke arah matahari tenggelam. Sejak pagi sang surya telah membakar batu itu dengan sinarnya yang sangat terik. Batu besar yang diduduki si kakek tidak beda dengan bara menyala. Tapi orang tua ini duduk bersila dengan tenang, seolah duduk di satu tempat yang sejuk dan nyaman. Kepalanya didongakkan ke atas langit. Tongkat bambu kuning diletakkan di atas pangkuan sedang dua tangan ditumpahkan di atas lipatan lutut. Setelah berdiam diri sesaat orang tua ini pejamkan dua matanya lalu dengan suara perlahan dan bergetar dia berkata. "Ya Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui. PentunjukMu sudah hamba terima. Batu permata telah hamba temui. Mohon kiranya masa penantian selama lima puluh tahun menjadi kenyataan. KehendakMu terjadilah. Hamba Ki Suro Gusti Bendoro sudah siap Ya Tuhan untuk datang menghadapMu dengan segala kerendahan. Petir pertama datanglah padaku, sampaikan kehendak Yang Kuasa, aku siap menerima deramu!" Di tempat yang tadinya sunyi senyap itu, disekitar batu besar tiba-tiba bertiup angin aneh yang mengeluarkan suara seperti puluhan puput ditiup secara bersamaan. Pada saat suara itu lenyap tiba-tiba di langit sebelah utara berkiblat satu sinar terang menyilaukan. Bersamaan dengan itu terdengar suara menggelegar seolah hendak meruntuh langit mengoyak bumi. Kiblatan sinar terang menghunjam ke bumi, menghantam ke arah batu besar di mana orang tua berjubah putih duduk bersila. Batu besar hancur terbelah hangus. Orang tua yang duduk di atasnya mencelat sampai lima tombak. Dari mulutnya keluar jeritan setinggi langit. Ketika tubuhnya melayang jatuh dan terkapar di tanah gunung, tangan kanannya sebatas bahu tak ada lagi di tempatnya. Petir yang menghantam dari langit membabat putus dan hangus tangan itu. Potongan tangan terlempar ke udara lalu jatuh dekat sebuah batu, perlahan-lahan berubah bentuk, leleh menjadi seonggok bubuk pasir berwarna hitam dan mengepulkan asap panas! Sosok orang tua itu terkapar di tanah tak bergerak. Jubah putihnya hangus. Mungkin nyawanya sudah putus. Ternyata tidak. Perlahan-lahan tubuh, itu bergerak bangkit. Tangan kirinya masih memegang tongkat bambu. Sesaat dia duduk bersimpuh di tanah lalu berkata. "Ya Tuhan, dera petir pertama telah hamba terima. Beri petunjuk agar hamba segera mendapatkan petir ke dua dan selanjutnya sampai ke tujuh." Ki Suro Gusti Bendoro sekilas melirik ke arah kutungan tangan kanannya yang telah berubah menjadi pasir besi hitam dan panas. Dengan pertolongan tongkat yang dipegang di tangan kiri orang tua berjubah putih itu melangkah meneruskan perjalanan. Sikapnya masih tetap gagah. Dia terus mendaki menuju puncak gunung. Tangan kanannya yang buntung disambar petir dan sakit luar biasa seolah tidak dirasakanrtya. Di satu tempat kembali kakek ini hentikan langkah ketika matanya melihat batu besar bertanda dua buah lobang sebesar kepalan. "Batu ke dua, tanda ke dua..." membatin orang tua berusia 150 tahun ini. Dia cucukkan tongkat bambu di tangan kirinya ke sebuah batu. Batu berlubang ditembus tongkat. Si kakek sendiri kemudian melesat ke udara dan turun di atas batu bertanda dua buah lobang sebesar kepalan. Seperti tadi orang tua ini duduk bersila di atas batu besar yang amat panas itu. Karena tangan kanannya sudah buntung, kini hanya tangan kirinya yang diletakkan di atas lipatan lutut. Sambil mendongak ke langit, orang tua ini berucap. "Petir ke dua, aku Ki Suro Gusti Bendoro siap menerima deramu. Datanglah padaku, sampaikan kehendak Yang Kuasa!" Baru saja kalimat itu selesai diucapkan, muncul suara angin menyerupai bunyi puput. Untuk ke dua kalinya kemudian dari langit melesat sinar putih menyilaukan menyambar ke bawah disertai gelegar yang menggetarkan puncak Gunung Mahameru. Batu yang diduduki Ki Suro Gusti Bendoro pecah hangus berkeping-keping. Sosok si kakek mencelat tinggi ke udara dibarengi jeritannya yang keras luar biasa. Sosoknya kemudian terbanting jatuh di celah antara dua buah batu hitam. Dari mulutnya keluar suara mengerang. Darah mengucur dari telinga dan hidungnya. Dua kakinya melejang beberapa kali. Saat itu ternyata dia tidak lagi memiliki tangan kiri. Seperti tangan kanan, tangan kirinya juga telah buntung hangus dihantam petir yang menyambar dahsyat dari langit! Lalu keanehan terulang kembali. Potongan tangan kiri Ki Suro Gusti Bendoro yang tercampak di tanah perlahan-lahan berubah menjadi setumpuk debu kasar menyerupai pasir besi berwarna hitam dan mengepulkan asap. Di sela batu, tubuh Ki Suro berguling ke kiri. Dua kakinya menggapai-gapai. Dengan bersandar ke salah satu batu di dekatnya dia berusaha bangkit. Tongkat bambu kuningnya masih menancap di atas batu hitam. Dia melesat ke atas batu. Dengan mulutnya dia menyambar tongkat bambu itu. Lalu dengan langkah terhuyung-huyung dia kembali mendaki menuju puncak gunung. Sekali ini dia bergerak tidak semudah sebelumnya. Sesekali dia hentikan langkah, menarik nafas panjang dan menatap ke langit. Di satu pendakian kakinya tersandung. Tubuhnya tersungkur di hadapan sebuah batu. Ketika dia memandang ke depan dia melihat tiga buah lubang pada batu itu. "Batu ke tiga..." membatin Ki Suro. Sepasang matanya membesar. Dia segera kerahkan tenaga dalam ke bawah lalu menjejakkan kaki. Kemudian tubuhnya melayang dan tegak di atas batu. Sesaat dia tegak tergontai-gontai. Lalu perlahan-lahan dia dudukkan diri bersila. "Petir ke tiga. Datanglah. Aku Ki Suro Gusti Bendoro siap menerima deramu!" Angin bertiup menimbulkan suara seperti puput. Di langit menggelegar suara petir. Cahaya menyilaukan menyambar panas dan ganas untuk ke tiga kalinya. Kali ini kaki kanan si kakek amblas putus sebatas pangkal paha, mencelat bersama hancuran batu. Lalu seperti yang kejadian dengan dua tangannya, kutungan paha yang gosong hangus ini berubah menjadi pasir besi berwarna hitam. Sosok Ki Suro Gusti Bendoro sendiri saat itu setengah terpendam di tanah. Orang lain dalam keadaan buntung tiga anggota tangannya disambar petir pasti sudah menemui ajal. Namun kakek satu ini sungguh luar biasa. Beringsut-ingsut dia mampu keluar dari pendaman tanah. Lalu dengan hanya mempergunakan satu kaki dia melompat berjingkat-jingkat menuju ke bagian gunung sebelah atas. Setiap jatuh dia berusaha bangkit lalu melompat lagi. Di satu tempat orang tua ini seperti kehabisan nafas dan sandarkan dirinya pada satu batu berbentuk pilar. Tenggorokannya seperti tercekik. Sekujur tubuhnya terutama yang putus dihantam petir sakit dan panas bukan main. Darah makin banyak mengalir dari hidung serta telinganya, malah kini juga dari mulut. Tongkat bambu kuning yang masih digigit dimulutnya kini tampak ikut basah oleh noda darah. "Masih empat petir..." membatin Ki Suro. Dia memandang berkeliling, mencari-cari. Akhirnya dia melihat empat lubang di sebuah batu berbentuk pilar enam langkah di sebelah depan sana. Dengan berjingkrak-jingkrak dia dekati batu setinggi tiga tombak itu. Ki Suro atur jalan nafas. Kerahkan tenaga dalam ke kaki kiri lalu begitu dia hentakkan kaki itu ke tanah tubuhnya melesat ke udara dan seperti seekor burung bangau dia hinggap di ujung batu berbentuk pilar! "Petir ke empat! Datanglah! Aku Ki Suro Gusti Bendoro siap menunggu!" Si kakek berteriak tapi suara teriakannya tidak sekeras sebelumnya. Apa lagi mulutnya kini dipenuhi darah dan setengah tersumbat oleh tongkat bambu yang digigitnya. Suara angin menyerupai lengkingan tiupan puput menggema di seputar pilar batu. Lalu. "Blaaarrr!" Di angkasa melesat sinar terang, menghunjam ke puncak Gunung Mahameru disertai gelegar yang membuat nyawa serasa terbang. Sebelum petir ke empat menghantam kaki kirinya, Ki Suro menyembur ke depan. Tongkat bambu kuning melesat ke udara lalu menancap di sebuah batu. Dari mulut Ki Suro sendiri kemudian keluar jeritan setinggi langit serta semburan darah. Tubuhnya terlempar jauh lalu jatuh terbanting di atas batu rata. Saat itu keadaannya sungguh mengerikan karena kaki kirinya telah putus dan hangus dibabat hantaman petir. Kutungan kaki ini seperti anggota tubuh terdahulu berubah menjadi bubuk pasir berwarna hitam mengepul. Untuk beberapa lamanya tubuh tanpa anggota badan itu terkapar tak bergerak. Lalu ada erangan halus. Kepala yang berselemotan darah bergerak ke kiri. Sepasang mata bergerak-gerak. "Batu ke lima.... Di mana batu kelima...." Dalam menanggung sakit yang amat sangat Ki Suro Gusti Bendoro mencari-cari. Rasa takut muncul. Tanpa tangan dan kaki bagaimana mungkin dia mencari batu ke lima. Dia tidak tahu kalau batu di mana dia terkapar saat itu justru adalah batu kelima karena di salah satu sudut yang tidak terlihat oleh mata si kakek ada lima buah lubang sebesar kepalan. "Batu kelima.... Aku harus menemukan batu ke lima! Tuhan tolong hambaMu ini! Beri petunjuk...." Di bawah sinar terik matahari tanpa didahului lagi oleh suara angin menyerupai tiupan puput, untuk ke lima kalinya di langit berkiblat cahaya putih menyilaukan mata. Gelegar dahsyat lagi-lagi mengguncang Gunung Mahameru. "Blaaarrr! Craaasss!" Tubuh Ki Suro Gusti Bendoro putus tepat di bagian pusar. Jeritan orang tua ini lebih menyerupai raungan binatang. Sisa tubuhnya dari pinggang ke atas hangus menghitam sementara bagian bawah yang terputus begitu terbanting ke tanah serta merta berubah menjadi bubuk hitam! Sepasang mata Ki Suro membeliak. Bagian hitamnya seolah lenyap dan hanya bagian putihnya saja yang terlihat. Namun sulit dipercaya, dalam keadaan tubuh terkutung-kutung seperti itu orang tua ini masih belum menemui ajal. Kepalanya, walau sangat lemah masih bisa digerakkan ke kiri dan ke kanan. "Ya Tuhan, beri hambamu ini kekuatan mendapatkan batu ke enam dan ke tujuh...." Tak dapat dipastikan dari mana keluarnya suara itu. Entah dari mulut atau liang perut si kakek. Saat itu tubuhnya terjepit antara celah dua kepingan batu besar bekas hancuran batu datar di mana sebelumnya dia jatuh terkapar. Ternyata pada masing-masing belahan batu terdapat lubang-lubang sebesar kepalan. Pada belahan sebelah kanan berjumlah enam lubang sedang pada batu sebelah kiri ada tujuh lubang. "Petir ke enam, petir ke tujuh! Datanglah! Datanglah berbarengan! Aku ingin masa penantian lima puluh tahun ini segera berakhir! Aku ingin roh ini segera melayang ke alam baka! Petir ke enam! Petir ke tujuh! Aku siap menerima deramu!" Bagi orang yang berada di tempat itu dan mendengar suara Ki Suro Gusti Bendoro maka yang terdengar hanyalah suara bergumam menggidikkan. Dan di puncak semua kengerian itu dari atas langit, satu cahaya terang diikuti cahaya ke dua menyambar dahsyat. Puncak Gunung Mahameru laksana mau runtuh. "Blaaar!" "Blaaarr!" Untuk ke sekian kalinya tubuh Ki Suro amblas putus. Kali ini di bagian dada, dihantam petir ke enam. Lalu petir ke tujuh menyudahi segala-galanya. Kepala orang tua itu hangus mengerikan. Setelah itu semua potongan tubuh dan kepala berubah menjadi gundukan pasir hitam yang mengepulkan asap panas! Keanehan tidak terhenti sampai di situ. Onggokan-onggokan pasir besi hitam dan panas yang bertebaran di beberapa tempat dan berasal dari potongan-potongan tubuh Ki Suro Gusti Bendoro berubah menjadi cairan hitam lalu bergerak meluncur di tanah seolah binatang melata, menuju ke satu tempat. Begitu saling bertemu mendadak udara yang tadi terang benderang kini menjadi redup. Di langit gumpalan-gumpalan awan hitam berarak cepat menutupi puncak Gunung Mahameru. Lalu gelegar guntur mengumandang beberapa kali. Udara menjadi gelap sesaat namun tidak ada hujan yang turun. Ketika tak selang berapa lama gumpalan-gumpalan awan hitam lenyap dan keadaan kembali terang, di tanah tempat bersatunya cairan aneh yang berasal dari sosok tubuh-tubuh Ki Suro Gusti Bendoro kini tergeletak sebilah keris tanpa sarung. Keris aneh ini berwarna hitam kebiru-biruan, memiliki luk sebanyak tujuh buah. Pada dua sisinya ada tujuh jalur memanjang berwarna kuning emas berkilauan. Keris aneh ini bergagang terbuat dari besi, berbentuk menyerupai angka 7, berkilau-kilau terkena sinar matahari. Sungguh aneh. Bagaimana hal seperti ini bisa terjadi kalau bukan dengan kehendak dan kuasaNya Tuhan Seru Sekalian Alam? *** Gudang Ebook (ebookHP.com) http://www.zheraf.net EMPAT EMPU BONDAN CIPTANING SEBELUM menuturkan apa yang terjadi selanjutnya dengan jazad Ki Suro Gusti Bendoro yang telah berubah menjadi keris itu kita kembali dulu pada satu rangkaian peristiwa yang berlangsung beberapa waktu sebelumnya. Di tepi telaga berair jernih, sejuk dan sunyi itu Empu Bondan Ciptaning duduk bersila tengah melaksanakan samadi penuh khusuk. Sampai dengan pagi itu telah tiga malam empat hari dia melakukan samadi. Agaknya dia tidak akan berhenti sebelum maksud tujuannya tercapai. Beberapa malam yang lalu orang tua ini bermimpi bahwa dia bakal kedatangan seorang tamu sangat penting. Tamu itu akan mengunjunginya di tepi telaga tersebut. Jadi itulah sebanya Empu Bondan tidak beranjak dari telaga, melakukan samadi sambil menunggu kedatangan orang. Empu yang terkenal memiliki keahlian membuat berbagai macam senjata ini, terutama keris konon mampu membuat sebilah keris tanpa menempanya, tapi dengan mengandalkan jari-jari tangannya yang akan dijadikan senjata menjadi besi tempaan dan membakar besi yang akan dijadikan senjata mustika. Tidak mengherankan banyak sekali orang yang ingin minta dibuatkan berbagai macam senjata sakti pada sang Empu. Mulai dari prajurit sampai raja, mulai dari orang baik-baik sampai para penjahat. Namun tidak mudah untuk bisa mencari dan bertemu dengan Empu Bondan Ciptaning. Menjelang tengah hari seorang kakek berjubah putih bertongkat bambu kuning muncul di tepi telaga. Dari debu yang melekat di pakaiannya jelaslah dia baru saja melakukan perjalanan jauh. Orang tua ini mengusap wajahnya lalu tersenyum. Walau tubuhnya terasa letih namun hatinya gembira karena orang yang dicarinya sejak dua purnama lalu akhimya ditemuinya juga. Melihat sang Empu tengah khusuk bersamadi, sambil menunggu orang tua berjubah putih memutuskan untuk melakukan sholat Zuhur terlebih dulu. Maka dia mengambil air wudhu di telaga lalu mencari tempat yang bersih untuk sembahyang. Selesai sembahyang kakek ini berzikir. Dia baru menghentikan zikirnya ketika melihat dua mata Empu Bondan Ciptaning perlahan-lahan terbuka, menatap ke arahnya. Dua pasang mata saling bertemu pandang. Dua wajah sama-sama menyeruakkan senyum. "Saudaraku Kiai Suro Gusti Bendoro!" berucap Empu Bondan Ciptaning. "Rupanya dirimulah yang kulihat dalam bayangan samadiku. Sungguh aku tidak menyangka. Aku merasa berbahagia dapat bertemu dengan dirimu. Orang tua ini lalu bangkit berdiri, menghampiri kakek berjubah putih. Keduanya lalu saling berpeluk-pelukan lama sekali, melepaskan kerinduan karena paling tidak selama dua lima tahun mereka tidak pernah bertemu. "Saudaraku Empu Bondan Ciptaning, aku tak kalah gembira bertemu dengan dirimu. Sudah berapa tahun senjata yang sampeyan ciptakan selama dua puluh lima tahun kita tak pernah bertemu?" Empu Bondan Ciptaning tertawa lebar. Ke dua orang tua itu lalu mencari tempat yang enak untuk duduk berhadap-hadapan di tepi telaga. "Belakangan ini aku jadi malas. Sudah jarang sekali aku membuat senjata. Apa lagi yang namanya keris...." "Mengapa begitu sahabatku? Mengapa sampeyan jadi malas" bertanya Ki Suro Gusti Bendoro. "Kupikir-pikir, buat apa aku membuat keris, menciptakan berbagai senjata sakti kalau pada akhirnya hanya dipergunakan untuk menumpahkan darah. Dipakai untuk saling membunuh...." "Sampeyan sebagai pembuat tidak salah, senjata-senjata itu juga tidak salah. Yang salah justru orang-orang yang mempergunakannya secara keliru..." kata Ki Suro Gusti Bendoro pula. "Mungkin begitu, saudaraku. Namun paling tidak aku merasa ikut bertanggung jawab. Kalau tidak kubuat senjata itu, tidak akan ada yang mati terbunuh. Karenanya aku putuskan untuk tidak membuat keris atau apapun lagi!" "Lalu apa kerja sampeyan? Hanya bersunyi diri di tepi telaga sejuk ini?" "Aku sengaja memilih tempat ini sejak sepuluh tahun silam. Karena suasana di dunia luar sangat merisaukan diriku. Kerajaan selalu dilanda kekacauan. Aku mendapat firasat ditahun-tahun mendatang kekacauan akan tambah menjadi-jadi. Aku tak ingin campur tangan. Aku juga tahu ada orang-orang Kerajaan yang diutus untuk mencariku. Jangan-jangan kau adalah salah seorang dari mereka. Bukankah kau salah seorang kepercayaan Sultan Demak?" "Sampeyan dan aku sama. Sudah sejak lama aku mengundurkan diri dari kehidupan Kerajaan. Jadi sampeyan tidak usah merisaukan siapa diriku. Aku adalah sahabatmu, saudaramu...." "Aku bahagia mendengar ucapanmu itu, Ki Suro. Hatiku benar-benar terasa sejuk. Apa lagi kalau aku ingat aku seorang Hindu, kau seorang Muslim...." Ki Suro Gusti Bendoro tersenyum dan pegang bahu sahabatnya itu. "Walau kita berlainan kepercayaan, tapi perbedaan agama tidak bisa memutuskan tali persahabatan dan tali persaudaraan. Itulah keagungan Yang Maha Kuasa...." Empu Bondan Ciptaning tersenyum dan angguk-anggukkan kepalanya. "Sekarang ceritakan padaku, gerangan apa yang membuatmu mencariku. Sampai-sampai bayanganmu muncul dalam samadiku. Aku merasa ada sesuatu yang penting...." "Sangat penting," sahut Ki Suro Gusti Bendoro pula. "Ada sesuatu yang harus aku serahkan padamu sebelum aku melakukan perjalanan menuju puncak Gunung Mahameru...." "Tunggu dulu..." kata Empu Bondan Ciptaning. "Kau menyebut niat hendak naik ke puncak Mahameru. Hal ini mengingatkan aku akan sesuatu. Apakah...?" Sang Empu tidak teruskan ucapannya. Wajahnya mendadak berubah redup tanpa ada kesedihan di lubuk hatinya. Ki Suro anggukkan kepala dengan perlahan. Wajahnya juga ikut larut dalam perasaan. "Lima puluh tahun aku menunggu. Aku sudah mendapat petunjuk dari Yang Maha Kuasa. Saatnya bakal datang tidak lama lagi. Itu sebabnya aku harus mempersiapkan diri dari sekarang...." "Kiai, saudaraku.... Apakah ini berarti kali terakhir kita bertemu?" Empu Bondan Ciptaning ulurkan tangannya memegangi lengan Ki Suro Gusti Bendoro. "Jangan bertanya seperti itu saudaraku..." jawab Ki Suro walau hatinya semakin ikut tenggelam dalam kesedihan. "Kita sama-sama tahu bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah sementara saja. Merupakan satu persinggahan sebelum kita sampai ke hidupan yang abadi, yaitu alam akhirat, alam baka. Berpisah di dunia, dengan kehendak Yang Maha Kuasa kelak kita akan bertemu di alam akhirat" Empu Bondan Ciptaning akhirnya tersenyum luruh. "Saudaraku, belum pernah aku bertemu orang yang mengadapi akhir hidupnya penuh senyum dan ketabahan...." "Ketabahan, bukankah itu dasar dari tawakal dan keimanan dalam agama kita...?" ujar Ki Suro pula. "Kau benar Kiai. Nah sekarang beritahu saudaramu ini. Gerangan apa yang hendak kau serahkan padaku?" "Sebuah kitab. Sebuah kitab yang usianya hampir dua kali usia kita berdua…." jawab Ki Suro Gusti Bendoro pula. Lalu tangannya bergerak ke balik jubah putihnya. *** LIMA KITAB “HIKAYAT KERATON KUNO” HARI dalam jubah putihnya Ki Suro Gusti Bendoro keluarkan sebuah kitab terbuat dari daun lontar. Orang tua ini memegang kitab itu dengan sangat hati-hati. Karena selain daun lontarnya sudah sangat tua dan rapuh, agaknya kitab itu juga merupakan sebuah benda langka dan sangat berharga bahkan mungkin merupakan sebuah kitab sakti atau keramat. Ki Suro letakkan kitab tipis yang terdiri hanya dari beberapa halaman itu di atas pangkuan sahabatnya. Sesaat Empu Bondan Ciptaning pandangi kitab daun lontar di atas pangkuannya itu dengan air muka tidak percaya. Lalu dia menatap wajah sahabatnya. Walau kitab tersebut tidak memiliki sampul dan judul namun sang Empu sudah maklum kitab apa itu adanya karena dia telah pernah mendengar keberadaan buku ini sejak puluhan tahun silam. "Kiai Suro, apa tidak salah aku menduga. Bukankah kitab yang hendak kau berikan ini adalah Kitab Hikayat Keraton Kuno yang pernah dibicarakan orang sejak setengah abad silam?" ' "Tidak salah dugaanmu, saudaraku." kata Ki Suro pula. "Memang itu adalah kitab Hikayat Keraton Kuno yang banyak dibicarakan orang. Banyak yang ingin memilikinya walau menempuh jalan sulit. Bahkan dengan darah dan nyawa!" "Dari mana kau mendapatkan kitab in! Kiai Suro? Bukankah seharusnya berada di Keraton Demak? Bukankah ini salah satu benda pusaka keraton?" Ki Suro Gusti Bendoro gelengkan kepala. "Begitu banyak orang yang menginginkan kitab ini. Termasuk para petinggi di beberapa Keraton. Hingga muncul semacam kepercayaan bahwa kitab ini adalah milik atau benda pusaka Keraton. Entah Keraton yang mana...." "Aneh, lalu bagaimana kitab ini sampai di tanganmu. Lalu mengapa pula hendak kau berikan padaku?" Kembali Empu Bondan Ciptaning bertanya. "Peristiwanya sekitar empat puluh tahun lalu," Ki Suro memulai keterangannya. "Saat itu aku berada di selatan pedataran pasir Tengger. Udara panas bukan main. Matahari seolah hanya satu jengkal di atas ubun-ubun. Bahkan hembusan anginpun laksana kobaran api membakar jagat. Dalam perjalanan itu aku membekal satu kantong kulit berisi sisa air yang mungkin cuma sebanyak dua atau tiga teguk. Walau haus aku tak mau meminumnya karena perjalananku masih jauh. Aku harus menemukan mata air dulu baru berani meneguk air dalam kantong kulit. Selain itu aku juga membekal sepotong ubi rebus. Aku juga tidak memakan ubi itu sebelum mendapat makanan pengganti. Pada saat aku berada dipuncak rasa lapar dan rasa haus yang luar biasa itulah di satu tempat ketinggian aku melihat seseorang duduk bersila di atas pasir. Kepalanya dilindungi sebuah caping lebar. Karena heran, lagi pula sudah sekian lama tidak berjumpa orang lain maka aku naik ke pedataran pasir itu menemui orang tadi. Maksudku ingin bertutur sapa barang sepatah dua patah. Orang ini ternyata seorang pengemis tua, berpakaian compang camping, penuh robek dan tambalan. Kulitnya ditumbuhi koreng di mana-mana. Badannya mengeluarkan hawa busuk. Aku jadi tertegun dan tak tahu mau berbuat apa. Padahal sebelumnya ingin sekali aku berkenalan dan bertegur sapa. Pengemis tua itu sendiri tampaknya seolah tidak perduli akan kehadiranku di tempat itu. Dan sahabatku Empu Bondan Ciptaning. Tahukah sampeyan apa yang tengah dilakukan pengemis tua itu di atas pedataran pasir yang panas itu? Dia duduk khidmat tengah berzikir!" Empu Bondan Ciptaning kerutkan kening. "Luar biasa..." katanya sambil gelengkan kepala. "Karena aku tidak ingin mengganggu ibadahnya maka setelah membungkuk memberikan penghormatan aku berniat hendak meninggalkan tempat itu...." Ki Suro lanjutkan kisahnya. Namun tiba-tiba pengemis tua itu buka capingnya. Aku lihat wajahnya. Astagafirullah, pengemis itu ternyata memiliki sepasang mata putih semua. Dia buta. Dalam keadaan seperti itu si pengemis lalu sodorkan capingnya dalam keadaan terbalik ke arahku. Aku terperangah. Bagaimana mungkin, di pedataran pasir luas seperti itu, orang tua itu masih hendak mengemis minta sedekah. Apa lagi saat itu aku tidak membawa uang barang sekepingpun. Tetapi sepertinya tahu apa yang ada dalam benak dan hatiku, pengemis itu tiba-tiba berkata. "Insan berjubah. Aku tidak inginkan uangmu. Kalau kau membawa makanan itulah yang aku minta. Sudah dua hari aku di pedataran pasir ini. Tak sepotong makananpun pernah masuk ke dalam perutku." Hatiku hiba. Aku memang membawa sepotong kecil ubi rebus. Aku sendiripun tengah menahan lapar luar biasa. Tapi melihat keadaannya yang seperti itu, hatiku menjadi luluh tak tega. Ubi yang tinggal sepotong aku serahkan padanya. Dia tidak mengatakan apa-apa, langsung saja memakan habis ubi rebus itu tanpa mengupas kulitnya. Setelah kulihat pengemis itu memakan habis ubi dan wajahnya tampak segar, kembali aku membungkuk dan hendak meninggalkannya. Namun seperti tadi dia ulurkan lagi caping bambunya lalu berkata. "Insan berjubah, ubi yang kau berikan sudah kumakan habis. Walau cuma sepotong kecil tapi masih ada gunanya sebagai penangsal perutku. Kau sungguh baik, hatimu sungguh mulia. Namun makan tanpa minum sungguh tidak sedap. Apa lagi aku haus sekali. Dua hari aku berada di pedataran pasir ini. Tidak setetes airpun pernah melewati tenggorokanku. Aku tahu kau ada membawa air. Kiranya kau mau memberikannya padaku." Aku terkejut mendengar ucapan pengemis tua itu. Matanya buta tapi aneh dia tahu aku membawa air. Bagaimana ini? Hendak kuberikan persediaanku sangat terbatas dan aku sendiri sudah dilanda haus yang sangat hebat. Kulitku sekering pedataran pasir Tengger. Namun lagi-lagi aku merasa tidak tega jika aku tidak memenuhi permintaannya. Aku mungkin saja masih bisa bertahan, pengemis itu mungkin tidak. Saat itu si pengemis telah mengulurkan capingnya kembali. Mau tak mau akhirnya kuberikan kantong kulit berisi air kepadanya. Kuletakkan di dalam caping yang ditengadahkannya itu. Aku berharap dia tidak akan menghabiskan semua air yang cuma sedikit itu. Pengemis tua itu mengambil kantong kulit yang ada dalam capingnya. Di luar dugaanku dia meneguk air dalam kantong sampai habis! Dalam keadaan kosong kantong dikembalikannya padaku. Aku membalik-balikkan kantong itu berulang kali, menekannya di sana-sini namun tidak setetes airpun yangmasih tersisa. Selagi aku kebingungan kulihat pengemis tua itu malah tersenyum padaku. Lalu dia berucap. "Kau sungguh balk, hatimu sungguh mulia. Tuhan akan memberkahimu. " Setelah berkata begitu pengemis ini tiba-tiba ulurkan lagi capingnya. Membuat aku terkejut. Apa lagi yang hendak dimintanya dariku, pikirku. Mungkin dia inginkan jubah putihku? Karena aku tidak memperhatikan ke arah caping, melainkan memandangi wajah si pengemis sambil menunggu apa yang akan diucapkannya, pengemis tua itu lalu acungkan capingnya sambil digoyang-goyang. Aku lalu memperhatikan ke arah caping yang dipegangnya. Mendadak aku jadi terkejut. Di dalam caping itu kulihat ada sebuah kitab terbuat dari daun lontar yang sudah rapuh. Pastilah kitab itu sangat tua sekali. Aku membungkuk sedikit, memperhatikan kitab itu. Si pengemis kembali menggoyangkan capingnya lalu berkata. "Ambillah. Kitab itu untukmu karena memang berjodoh dengan dirimu...." Aku tidak mengerti. Kembali si pengemis menyuruh aku mengambil kitab itu. Sampai tiga kali akhirnya kuulurkan tangan mengambil kitab itu. Begitu kitab berada dalam tanganku si pengemis berkata. "Menghadaplah ke kiblat dan mulailah membaca kitab itu." Walau hatiku merasa heran tapi entah mengapa aku mengikuti apa yang diucapkan si pengemis tua. Begitu aku menghadap ke arah yang dikatakan pengemis itu, saat itu juga aku merasakan satu keanehan. Serta merta aku tidak lagi merasa kepanasan, lapar ataupun haus. Sang surya yang tadinya serasa seperti hanya satu jengkal di atas kepala kini seperti berubah menjadi rembulan yang memancarkan cahaya indahnya di malam yang sejuk. Rasa lapar dan dahaga yang kuderita hebat mendadak lenyap dan tubuhku terasa segar bugar. Seolah-olah aku ini baru saja selesai mandi di dalam satu telaga yang jernih dan berair sejuk. Penuh perasaan heran aku membalikkan badan ke arah si pengemis tadi. Tetapi, astagafirullah. Pengemis tua itu tak ada lagi di tempat tadi dia duduk! Aku mencari dan memandang seantero pedataran pasir. Orang itu tidak kelihatan. Aku berteriak memanggil-manggil. "Ki sanak.... Ki sanak pengemis!" Suaraku lenyap ditelan udara kawasan pedataran pasir. Kemana lenyapnya pengemis aneh itu, pikirku. Lalu kuperhatikan pasir di sekitarku. Kalau dia memang sudah meninggalkan tempat itu pasti ada jejak-jejak kakinya di atas pasir. Tapi aku tidak melihat apa-apa! Kupejamkan ke dua mataku. Dalam hati dan pikiranku aku menduga. Jangan-jangan pengemis tua tadi adalah Malaikat. Tapi kemudian kusadari mana mungkin Malaikat akan menemui diriku yang rendah dan hina ini. Walau demikian aku langsung ingat pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang mampu melakukan apa saja yang mustahil bagi kita manusia. Langsung saja aku menjatuhkan diri dan bersujud. Menyebut nama Tuhan berulang kali dan memohon petunjuk serta bimbinganNya. Lalu aku berdiri. Setelah memandang berkeliling akhirnya kutinggalkan tempat itu dengan mengepit erat kitab kuno itu. Aku tahu betul saat itu aku berada jauh di tengah-tengah Pedataran Pasir Tengger. Namun sungguh aneh, seolah ada yang membimbing, langkahku ringan dan cepat. Sebelum sang surya condong ke barat aku sudah sampai di satu jalan menurun menuju ke sebuah desa. Padahal jika tidak terjadi sesuatu keanehan atas diriku dengan pengemis tua itu, niscaya menjelang Magrib baru aku bisa sampai di tempat itu. Aku tidak segera memasuki desa itu tetapi mencari tempat yang enak di bawah kerindangan sebuah pohon dan duduk di situ. Dari balik jubah kukeluarkan kitab yang kuperoleh dari pengemis aneh itu. Namun belum sempat kitab kubuka, mendadak berkelebat satu bayangan. Tahu-tahu di hadapanku berdiri seorang nenek berwajah angker. Sekujur muka dan kulit ubuhnya berlapis sisik hitam kebiru-biruan. Ketika dia menyeringai kulihat deretan gigi-giginya panjang dan merah. Waktu dia menjulurkan lidahnya, lidah itu juga berwarna merah, basah seperti bergelimang darah. Selain itu lidah si nenek ternyata bercabang dua. Aku segera mengenali siapa adanya nenek ini. Dia adalah tokoh silat dari timur yang dijuluki Si Lidah Bangkai. Siapa saja yang sampai tersentuh lidah bercabangnya serta merta akan berubah menjadi bangkai alias menemui ajal!" Empu Bondan Ciptaning yang mendengar penuturan sahabatnya itu tampak terkejut. "Si Lidah Bangkai..." ujar sang Empu. "Nenek ular yang sepanjang hidupnya selalu gentayangan berbuat kejahatan dan keonaran. Kalau tidak salah kabar yang aku sirap, dia terlibat dalam pembantaian keluarga Pangeran Prawoto yang dilakukan oleh Ario Penangsang. Heran, usia sudah begitu lanjut, Malaikat Maut sudah siap untuk menjemput, mengapa masih mau-maunya berbuat kejahatan menumpah darah menebar kematian...." Empu Bondan Ciptaning hela nafas panjang, menanti Ki Suro Gusti Bendoro melanjutkan penuturannya. *** ENAM SI LIDAH BANGKAI NENEK yang muka dan badannya bersisik hitam kebiru-biruan itu sesaat menatap dengan matanya yang besar berkilat ke arah Ki Suro Gusti Bendoro yang juga memandang kepadanya dengan air muka tenang walau dalam hati sudah merasa kurang enak. "Setiap muncul nenek satu ini selalu mendatangkan malapetaka. Bahala apa yang hendak diperbuatnya terhadapku," kata Ki Suro dalam hati. Perlahan-lahan nenek yang dijuluki Si Lidah Bangkai itu angkat kepalanya, mendongak ke langit. Dia julurkan lidah merah bercabangnya dua kali berturut-turut lalu tertawa melengking seperti suara kuda meringkik. Ki Suro yang belum pernah mendengar suara tawa seperti itu mau tak mau jadi tercekat. Namun orang tua ini tetap duduk dengan tenang, menatap penuh waspada ke arah si nenek. "Orang tua berjubah putih, apa benar kau orangnya yang bernama Ki Suro Gusti Bendoro? Yang konon menjadi kepercayaan Keraton Demak?" Tiba-tiba si nenek ajukan pertanyaan dengan suara lantang. Ki Suro tersenyum lalu menjawab. "Sampeyan benar. Aku memang Ki Suro Gusti Bendoro. Tapi aku sudah sejak lama tidak lagi punya sangkut paut dengan Keraton Demak. Saat ini aku tidak lebih dari seorang musafir yang tengah melakukan perjalanan pengembaraan...." Si Lidah Bangkai tatap lekat-lekat wajah Ki Suro lalu seperti tadi kembali dia tertawa meringkik. Lidahnya yang besar merah dan bercabang menjulur-julur keluar. "Kalau orang sepentingmu tidak lagi berada di Keraton Demak, tentu ada apa-apanya! Apakah kau mau menerangkan?" Ki Suro gelengkan kepala. Sambil tersenyum dia berkata. "Tidak ada yang perlu kuterangkan. Sampeyan orang berkepandaian tinggi dan luas pengalaman tentu sudah tahu apa yang terjadi di Kesultanan Demak...." Si nenek tertawa panjang. "Ki Suro, kau pandai memuji. Tapi aku kurang percaya pada orang yang suka memuji. Karena apa yang dikatakan mungkin tidak sama dengan apa yang ada di dalam hatinya...." Walau disindir orang seperti itu, Ki Suro tetap tersenyum. Dengan suara tenang dia berucap. "Aku setuju dengan pendapat sampeyan. Dalam hidup ini kepercayaan adalah hal paling utama. Karenanya tidak salah kalau orang-orang tua kita membuat ujarujar yang berbunyi Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tidak percaya." Wajah bersisik si nenek yang berjuluk Si Lidah Bangkai itu tampak berubah ungu. Ini satu pertanda bahwa dia sedang dalam keadaan marah karena merasa tersinggung oleh ucapan Ki Suro tadi. Seperti diketahui nenek ini adalah momok nomor satu yang paling ditakuti sekaligus dibenci dikawasan timur. Orang-orang persilatan dari kalangan tertentu bukan saja tidak menyukainya tetapi juga tidak mempercayainya. Itu sebabnya dia merasa kena tempelak oleh ucapan Ki Suro tadi. Walau telinga dan hatinya terasa panas tapi dengan cepat dia kuasai diri. Mukanya yang tadi ungu perlahan kembali berubah menjadi hitam kebiruan. Malah kembali dia tertawa melengking-lengking. Lalu dia meludah ke tanah. Ludahnya kental dan berwarna merah seperti darah. Ludah itu jatuh di tanah hanya satu langkah dari hadapan Ki Suro. "Hemmm.... Nenek ini mulai berbuat olah mencari perkara. Dia sengaja meludah untuk memancing kemarahanku. Aku harus waspada dan bersabar diri," kata Ki Suro Gusti Bendoro dalam hati. "Ki Suro, tapi kau berkata bahwa saat ini kau tak lebih sebagal seorang musafir yang tengah melakukan pengembaraan. Jika orang sepentingmu merelakan diri meninggalkan kehidupan senang di Keraton lalu melakukan perjalanan pengembaraan, pasti ada sesuatu yang tengah kau cari...." "Sampeyan sungguh tajam pandangan dan pikiran," kata Ki Suro lagi-lagi dengan tersenyum. "Bagiku kehidupan Keraton bukanlah satu kehidupan yang menyenangkan. Dimanapun aku berada tujuan hidupku bukanlah untuk mencari kesenangan. Aku mengembara untuk menghabiskan sisa hidup ini agar bisa lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, Tuhan Seru Sekalian Alam...." "Sungguh satu ucapan yang mencerminkan ketinggian budi dan kemuliaan jiwa!" memuji Si Lidah Bangkai tapi lalu tertawa panjang seolah mengejek. "Ki Suro, jika aku tidak salah menduga. Bukankah kau barusan mengadakan perjalanan ke kawasan pedataran pasir Tengger?" "Sampeyan benar. Memang aku barusan dari sana..." jawab Ki Suro polos. "Kau menjawab dengan jujur. Tapi aku ingin tahu apakah kau juga akan memberikan jawaban jujur untuk pertanyaanku berikutnya.... Apa yang kau cari di gurun pasir Tengger?" "Pertanyaan sampeyan sebenarnya sudah terangkum dalam keteranganku sebelumnya. Aku ingin mendekatkan diri pada Illahi sebelum aku kembali menghadapNya." "Tapi tentunya kau tidak menemukan Illahi di gurun pasir itu, bukan?!" ujar si nenek. Dia keluarkan suara tercekik lalu tertawa meringkik. "Kau boleh menghina diriku Lidah Bangkai! Tapi jangan sekali-kali berani mempermainkan Gusti Allah di hadapanku! Aku akan menyabung nyawa untuk hal yang satu itu!" Ki Suro Gusti Bendoro jadi marah besar karena merasa si nenek mempermainkan nama Tuhan. Si Lidah Bangkai cepat goyang-goyangkan tangan kanannya. "Sabar, seorang Kiai sepertimu harus sabar. Jangan terlalu cepat berprasangka buruk dan marah. Sekarang aku mau bertanya secara baik-baik. Siapa yang kau temui di gurun Tengger itu? Dan apa yang kau dapatkan di sana? Apakah kau mau menjawab?!" Ki Suro Gusti Bendoro merenung sejenak. Setelah dia bisa menenangkan darahnya yang tadi sempat bergejolak baru dia menjawab. "Nenek, walau aku merasa kau keliwat memaksa dan seperti tengah memeriksa aku sebagai seorang pesakitan, tapi aku akan menjawab pertanyaanmu dengan jujur," kata Ki Suro Gusti Bendoro pula. "Di gurun pasir Tengger, aku secara kebetulan bertemu dengan seorang pengemis bermata buta. Aku tidak tahu siapa namanya atau apakah dia mempunyai semacam gelar dan julukan. Dia menyerahkan kitab tua terbuat dari daun lontar ini padaku." Ki Suro Gusti Bendoro lalu perlihatkan kitab daun lontar yang ada di tangan kanannya, lalu meletakkan kitab itu di atas pangkuannya. Sepasang mata si nenek membesar, menatap tajam pada kitab yang ada di tangan kanan Ki Suro. "Kau memang manusia paling jujur dan polos di atas bumi ini. Karenanya tidak salah kalau aku juga ingin polos dan terus-terang...." "Apa maksud sampeyan dengan ucapan itu?" bertanya Ki Suro. "Aku ingin agar kau menyerahkan kitab itu padaku!" kata Si Lidah Bangkai sambil acungkan telunjuk tangan kanan, menunjuk tepat-tepat ke arah kitab yang ada di atas pangkuan Ki Suro. Lalu dia mendongak ke langit, kemudian tertawa seperti kuda meringkik. Lidahnya yang basah merah dan bercabang kembali menjulur-julur. "Hemm... tak salah dugaanku. Nenek satu ini memang sengaja muncul untuk mencari perkara," membatin Ki Suro. Karena memang sudah menduga kemunculan si nenek memang tidak bermaksud baik maka Ki Suro tidak begitu terkejut mendengar kata-kata Si Lidah Bangkai itu. Masih dengan tersenyum dia berkata. "Tak mungkin kitab ini kuserahkan pada sampeyan. Kitab ini adalah titipan pengemis di gurun pasir Tengger itu. Aku harus menjaga dan memeliharanya baik-baik." "Katamu kau tengah menghabisi sisa hidup. Kalau memang sudah mau mati mengapa masih menginginkan memiliki kitab itu?" "Kalau aku sudah mati itu perkara lain. Bagaimana jadinya nanti dengan kitab ini tentu tidak akan kuketahui lagi. Tetapi selagi aku masih hidup, kitab ini tetap akan berada di tanganku dan kujaga baik-baik." "Kalau begitu, untuk mempercepat urusan, biar kau kubunuh saja saat ini juga! Begitu kau mati kau tak ada urusan lagi dengan kitab itu. Begitu maumu, bukan? Hik... hik... hik!" Si nenek tertawa panjang. Tiba-tiba tawanya lenyap. Dari mulutnya keluar suara seperti meniup. Lalu lidahnya yang merah basah bercabang dua melesat keluar. Secara aneh lidah ini berubah panjang dan ujungnya menyambar ke arah leher Ki Suro Gusti Bendoro! *** Bersambung di Episode Selanjutnya: Petir Di Mahameru 2 Gudang Ebook (ebookHP.com) http://www.zheraf.net